Al-Hadits menurut bahasa adalah khabar atau berita. Menurut istilah, Al-Hadits adalah segala berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, meliputi sabda, perbuatan beliau, dan perbuatan para sahabat yang beliau diamkan, dalam arti membenarkannya (taqrir). Hadits lazim pula disebut Sunnah, atau Sunnah Rasulullah saw, sedangkan menurut bahasa Sunnah berarti kelakuan, perjalanan, pekerjaan, atau cara (Mustofa dan Wahid, 2009: 13).
A. Argumentasi Kehujjahan Hadits
Hadits merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Quran. Selain hadits, sumber hukum Islam yang selanjutnya adalah Ijma’ dan Qiyas. Menurut Idri (2010: 20), untuk membuktikan kebenaran hadits sebagai sumber ajaran Islam, para ulama hadits mengemukakan beberapa argumentasi baik dilihat dari segi rasional dan teologis, al-quran, maupun ijma’.
1. Argumentasi Rasional/Teologis
Beriman kepada Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh setiap muslim. Beriman kepada Rasul berarti menerima konsekuensi logis bahwa segala sesuatu yang datang darinya yang berkaitan dengan urusan agama harus ditaati. Dengan demikian, menerima hadits sebagai hujjah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seseorang.
2. Argumentasi Al-Quran
Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Nabi Muhammad memiliki peran sangat penting dalam kaitan dengan agama. Pertama, Nabi diberi tugas untuk menjelaskan al-Quran kepada umat manusia sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl: 44:
وَاَنْزَلْنَا اِلَيكَ الذّ كْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهُمْ لَعَلَهُمْ يَتَفَكَّرُ وْنَ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Kedua, Nabi sebagai suri tauladan yang (uswah hasanah) yang wajib diikuti oleh umat Islam (surat al-Ahzab:21). Ketiga, Nabi wajib ditaati oleh segenap umat Islam sebagaimana dijelaskan pada surat al-Anfal ayat 20, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).
Selain tiga faktor tersebut, masih banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada Rasulullah hanya dapat diwujudkan melalui ketaatan terhadap segala yang dibawanya, yaitu ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi. Dengan demikian, ketaatan kepada ketentuan-ketentuan hadits merupaka suatu keniscayaan.
3. Argumentasi Sunnah
Kehujjahan hadits dapat diketahui pula melalui pernyataan Rasulullah sendiri melalui hadits-hadits nya. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Hakim al-Nasyaburi, Nabi bersabda yang artinya “Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah (al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya”.
Demikian pula dalam hadits-hadits yang senada yang menjelaskan tentang keharusan umat Islam mengikuti hadits Nabi baik dalam urusan ibadah kepada Allah maupun dalam persoalan hukum dan kemasyarakatan.
4. Argumentasi Ijma’
Mengamalkan sunnah Rasulullah wajib menurut ijma’ para sahabat. Tidak seorangpun di antara mereka yang menolak tentang wajibnya taat kepada Rasulullah.. bahkan, umat Islam telah bersepakat mengenai kewajiban mengikuti sunnah. Kewajiban mengikuti sunnah ini dikuatkan dengan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
B. Kedudukan Hadits terhadap Al-Quran
Menurut Khon (2012: 25), Hadits ataupun Sunnah menjadi dasar hukum Islam (tasyri’iyyah) kedua setelah Al-Quran. Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan berikut.
1. Fungsi Sunnah sebagai penjelas terhadap al-Quran
Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap al-Quran. Tentunya pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks al-Quran sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya. Dengan demikian, segala uraian dalam sunnah berasal dari al-Quran. Al-Quran mengandung segala permasalahan secara paripurna dan lengkap, baik menyangkut masalah duniawi maupun ukhrawi, tidak ada suatu masalah yang tertinggal. Sebagaimana Firman Allah dalam Surah Al-An’am (6): 38:
مافرطنافي الكتاب من شيء
“Tidak ada sesuatu yang Kami tinggalkan dalam Al-Kitab”
2. Mayoritas Sunnah relatif kebenarannya (Zhanniy Ats-Tsubut)
Seluruh umat Islam juga telah berkonsensus bahwa al-Quran seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir (para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan generasi). Maka ia memberi faedah absolut kebenarannya (qath’i ats-tsubut) dari Nabi, kemudian di antaranya ada yang memberi petunjuk makna secara tegas dan pasti (qath’i ad-dilalah) dan secara relatif petunjuknya (dzanni ad-dilalah). Sedangkan sunnah, di antaranya ada yang mutawatir yang memberikan faedah qath’i ats-tsubut, dan di antaranya bahkan yang mayoritas ahad (periwayatnya secara individual) memberikan faedah relatif kebenarannya (dzanni ats-tsubut) bahwa ia dari Nabi saw, meskipun secara umum dapat dikatakan qath’I ats-tsubut. Keduanya memberikan dua faedah qath’i dan zhanni ad-dilalah. Tentunya tingkat sunnah yang sebagian besar memberikan faedah zhanni ats-tsubut dengan dua petunjuk tersebut, jatuh nomor dua setelah al-Quran yang berfaedah qath’I ats-tsubut dengan dua petunjuk pula.
Sedangkan menurut Idris (2010: 24-30), fungsi hadits sebagai penjelas al-Quran, di kalangan ulama disebutkan secara beragam. Malik ibn Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-basth, dan bayan al-tasyri. Imam al-Syafi’i menyebutkan lima fungsi yaitu bayan al-tafshil, bayan al-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri, dan bayan al-nasakh. Dalam kitabnya al-Risalah, al-Syafi’i menambahkan bayan al-isyarah. Ahmad ibn Hanbal menyebutkan empat macam fungsi, yaitu bayan al-aqyid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri, dan bayan al-takhshish.
1. Bayan al-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut pula bayan al-taqyid dan bayan al-itsbat, yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam al-Quran. Fungsi haddits dalam hal ini hanya memperkuat isi atau kandungan al-Quran, misalnya hadits Nabi yang artinya “Shalat orang yang berhadas tidak diterima kecuali setelah ia berwudhu”.
Hadits itu sejalan dengan, dan karenanya memperkuat, ketentuan al-Quran bahwa orang yang hendak mendirikan shalat harus berwudhu terlebih dahulu, dalam surat Al-Maidah ayat 6, yang artinya”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.
2. Bayan Tafshil
Bayan tafshil berarti penjelasan dengan merinci kandungan ayat-ayat yang mujmal, yakni ayat-ayat yang bersifat ringkas atau singkat, sehingga maknanya kurang atau bahkan tidak jelas kecuali ada penjelasan ataupun perincian. Dengan kata lain, ungkapan ayat itu masih bersifat global yang memerlukan mubayyin. Misalnya hadis “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbuka (berhari raya)-lah karena melihat hilal”.
Hadits tersebut menjelaskan tentang tata cara berpuasa Ramadhan yang dimulai dan diakhiri dengan melihat hilal, sebagai penjelasan dari keumuman ayat tentang puasa: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa” (QS. Al-Baqarah: 183).
3. Bayan Taqyid
Bayan taqyid adalah penjelasan hadits dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu. Kata mutlak artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang jumlah atau sifatnya. Penjelasan Nabi yang berupa taqyid terhadap ayat-ayat al-Quran yang mutlak antara lain dapat dilihat pada hadits yang memiliki arti: “Tangan pencuri dipotong jika mencuri seperempat dinar atau lebih.”
Hadits ini membatasi kadar curian yang menyebabkan pelakunya terkena hukuman potong tangan yang tidak dijelaskan dalam ayat tentang ini yang bersifat mutlak, yaitu: “Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (Q.S. 5: 38).
4. Bayan Takhshish
Bayan takhshish adalah penjelasan Nabi dengan cara membatasi atau mengkhususkan ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu yang mendapat perkecualian. Misalnya, hadits Nabi tentang masalah waris di kalangan para nabi: “Kami para nabi tidak diwarisi, sesuatu yang kami tinggalkan menjadi sedekah”.
Hadits tersebut merupakan pengecualian dari keumuman ayat al-Quran yang menjelaskan tentang disyariatkannya waris bagi umat Islam. Ayat al-Quran yang dimaksud adalah: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
Allah mensyariatkan kepada umat Islam agar membagi warisan kepada ahli waris; di mana anak laki-laki mendapatkan satu bagian dan anak perempuan separuhnya. Syariat waris itu tidak berlaku khusus pada para nabi, sehingga keumuman ayat tersebut dikhususkan oleh hadits di atas. Dengan kata lain, secara umum, mewariskan harta peninggalan wajib kecuali para nabi yang tidak mempunyai kewajiban untuk itu.
5. Bayan Tasyri
Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadits yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan syar’i yang tidak didapati nashnya dalam al-Quran. Dalam hal ini, Rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat-ayat al-Quran. Ketetapan Rasulullah tersebut ada kalanya berdasarkan qiyas ada pula yang tidak. Comtoh hadits Nabi: “Seorang perempuan tidak boleh dipoligami bersama bibinya dari pihak ibu atau ayahnya”.
6. Bayan Nasakh
Bayan Nasakh adalah penjelasan hadits yang mengahapus ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Quran. Hadits yang datang setelah al-Quran menghapus ketentuan-ketentuan al-Quran. Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya hadits menasakh al-Quran. Ulama yang membolehkan juga berbeda pendapat tentang hadits kategori apa yang boleh menasakh al-Quran itu. Mereka mengemukakan contoh hadits: “Ahli waris tidak dapat menerima wasiat”.
Hadits tersebut me-nasakh ketentuan dalam ayat: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Menurut ulama yang menerima adanya nasakh hadits terhadap al-Quran, hadits di atas me-nasakh kewajiban berwasiat kepada ahli, yang dalam ayat di atas dinyatakan wajib. Dengan demikian, seorang yang akan meninggal dunia tidak wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli, karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Mustafa dan Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif.
A. Argumentasi Kehujjahan Hadits
Hadits merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Quran. Selain hadits, sumber hukum Islam yang selanjutnya adalah Ijma’ dan Qiyas. Menurut Idri (2010: 20), untuk membuktikan kebenaran hadits sebagai sumber ajaran Islam, para ulama hadits mengemukakan beberapa argumentasi baik dilihat dari segi rasional dan teologis, al-quran, maupun ijma’.
1. Argumentasi Rasional/Teologis
Beriman kepada Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh setiap muslim. Beriman kepada Rasul berarti menerima konsekuensi logis bahwa segala sesuatu yang datang darinya yang berkaitan dengan urusan agama harus ditaati. Dengan demikian, menerima hadits sebagai hujjah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seseorang.
2. Argumentasi Al-Quran
Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Nabi Muhammad memiliki peran sangat penting dalam kaitan dengan agama. Pertama, Nabi diberi tugas untuk menjelaskan al-Quran kepada umat manusia sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl: 44:
وَاَنْزَلْنَا اِلَيكَ الذّ كْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهُمْ لَعَلَهُمْ يَتَفَكَّرُ وْنَ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Kedua, Nabi sebagai suri tauladan yang (uswah hasanah) yang wajib diikuti oleh umat Islam (surat al-Ahzab:21). Ketiga, Nabi wajib ditaati oleh segenap umat Islam sebagaimana dijelaskan pada surat al-Anfal ayat 20, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).
Selain tiga faktor tersebut, masih banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada Rasulullah hanya dapat diwujudkan melalui ketaatan terhadap segala yang dibawanya, yaitu ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi. Dengan demikian, ketaatan kepada ketentuan-ketentuan hadits merupaka suatu keniscayaan.
3. Argumentasi Sunnah
Kehujjahan hadits dapat diketahui pula melalui pernyataan Rasulullah sendiri melalui hadits-hadits nya. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Hakim al-Nasyaburi, Nabi bersabda yang artinya “Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah (al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya”.
Demikian pula dalam hadits-hadits yang senada yang menjelaskan tentang keharusan umat Islam mengikuti hadits Nabi baik dalam urusan ibadah kepada Allah maupun dalam persoalan hukum dan kemasyarakatan.
4. Argumentasi Ijma’
Mengamalkan sunnah Rasulullah wajib menurut ijma’ para sahabat. Tidak seorangpun di antara mereka yang menolak tentang wajibnya taat kepada Rasulullah.. bahkan, umat Islam telah bersepakat mengenai kewajiban mengikuti sunnah. Kewajiban mengikuti sunnah ini dikuatkan dengan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
B. Kedudukan Hadits terhadap Al-Quran
Menurut Khon (2012: 25), Hadits ataupun Sunnah menjadi dasar hukum Islam (tasyri’iyyah) kedua setelah Al-Quran. Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan berikut.
1. Fungsi Sunnah sebagai penjelas terhadap al-Quran
Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap al-Quran. Tentunya pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks al-Quran sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya. Dengan demikian, segala uraian dalam sunnah berasal dari al-Quran. Al-Quran mengandung segala permasalahan secara paripurna dan lengkap, baik menyangkut masalah duniawi maupun ukhrawi, tidak ada suatu masalah yang tertinggal. Sebagaimana Firman Allah dalam Surah Al-An’am (6): 38:
مافرطنافي الكتاب من شيء
“Tidak ada sesuatu yang Kami tinggalkan dalam Al-Kitab”
2. Mayoritas Sunnah relatif kebenarannya (Zhanniy Ats-Tsubut)
Seluruh umat Islam juga telah berkonsensus bahwa al-Quran seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir (para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan generasi). Maka ia memberi faedah absolut kebenarannya (qath’i ats-tsubut) dari Nabi, kemudian di antaranya ada yang memberi petunjuk makna secara tegas dan pasti (qath’i ad-dilalah) dan secara relatif petunjuknya (dzanni ad-dilalah). Sedangkan sunnah, di antaranya ada yang mutawatir yang memberikan faedah qath’i ats-tsubut, dan di antaranya bahkan yang mayoritas ahad (periwayatnya secara individual) memberikan faedah relatif kebenarannya (dzanni ats-tsubut) bahwa ia dari Nabi saw, meskipun secara umum dapat dikatakan qath’I ats-tsubut. Keduanya memberikan dua faedah qath’i dan zhanni ad-dilalah. Tentunya tingkat sunnah yang sebagian besar memberikan faedah zhanni ats-tsubut dengan dua petunjuk tersebut, jatuh nomor dua setelah al-Quran yang berfaedah qath’I ats-tsubut dengan dua petunjuk pula.
Sedangkan menurut Idris (2010: 24-30), fungsi hadits sebagai penjelas al-Quran, di kalangan ulama disebutkan secara beragam. Malik ibn Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-basth, dan bayan al-tasyri. Imam al-Syafi’i menyebutkan lima fungsi yaitu bayan al-tafshil, bayan al-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri, dan bayan al-nasakh. Dalam kitabnya al-Risalah, al-Syafi’i menambahkan bayan al-isyarah. Ahmad ibn Hanbal menyebutkan empat macam fungsi, yaitu bayan al-aqyid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri, dan bayan al-takhshish.
1. Bayan al-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut pula bayan al-taqyid dan bayan al-itsbat, yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam al-Quran. Fungsi haddits dalam hal ini hanya memperkuat isi atau kandungan al-Quran, misalnya hadits Nabi yang artinya “Shalat orang yang berhadas tidak diterima kecuali setelah ia berwudhu”.
Hadits itu sejalan dengan, dan karenanya memperkuat, ketentuan al-Quran bahwa orang yang hendak mendirikan shalat harus berwudhu terlebih dahulu, dalam surat Al-Maidah ayat 6, yang artinya”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.
2. Bayan Tafshil
Bayan tafshil berarti penjelasan dengan merinci kandungan ayat-ayat yang mujmal, yakni ayat-ayat yang bersifat ringkas atau singkat, sehingga maknanya kurang atau bahkan tidak jelas kecuali ada penjelasan ataupun perincian. Dengan kata lain, ungkapan ayat itu masih bersifat global yang memerlukan mubayyin. Misalnya hadis “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbuka (berhari raya)-lah karena melihat hilal”.
Hadits tersebut menjelaskan tentang tata cara berpuasa Ramadhan yang dimulai dan diakhiri dengan melihat hilal, sebagai penjelasan dari keumuman ayat tentang puasa: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa” (QS. Al-Baqarah: 183).
3. Bayan Taqyid
Bayan taqyid adalah penjelasan hadits dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu. Kata mutlak artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang jumlah atau sifatnya. Penjelasan Nabi yang berupa taqyid terhadap ayat-ayat al-Quran yang mutlak antara lain dapat dilihat pada hadits yang memiliki arti: “Tangan pencuri dipotong jika mencuri seperempat dinar atau lebih.”
Hadits ini membatasi kadar curian yang menyebabkan pelakunya terkena hukuman potong tangan yang tidak dijelaskan dalam ayat tentang ini yang bersifat mutlak, yaitu: “Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (Q.S. 5: 38).
4. Bayan Takhshish
Bayan takhshish adalah penjelasan Nabi dengan cara membatasi atau mengkhususkan ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu yang mendapat perkecualian. Misalnya, hadits Nabi tentang masalah waris di kalangan para nabi: “Kami para nabi tidak diwarisi, sesuatu yang kami tinggalkan menjadi sedekah”.
Hadits tersebut merupakan pengecualian dari keumuman ayat al-Quran yang menjelaskan tentang disyariatkannya waris bagi umat Islam. Ayat al-Quran yang dimaksud adalah: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
Allah mensyariatkan kepada umat Islam agar membagi warisan kepada ahli waris; di mana anak laki-laki mendapatkan satu bagian dan anak perempuan separuhnya. Syariat waris itu tidak berlaku khusus pada para nabi, sehingga keumuman ayat tersebut dikhususkan oleh hadits di atas. Dengan kata lain, secara umum, mewariskan harta peninggalan wajib kecuali para nabi yang tidak mempunyai kewajiban untuk itu.
5. Bayan Tasyri
Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadits yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan syar’i yang tidak didapati nashnya dalam al-Quran. Dalam hal ini, Rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat-ayat al-Quran. Ketetapan Rasulullah tersebut ada kalanya berdasarkan qiyas ada pula yang tidak. Comtoh hadits Nabi: “Seorang perempuan tidak boleh dipoligami bersama bibinya dari pihak ibu atau ayahnya”.
6. Bayan Nasakh
Bayan Nasakh adalah penjelasan hadits yang mengahapus ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Quran. Hadits yang datang setelah al-Quran menghapus ketentuan-ketentuan al-Quran. Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya hadits menasakh al-Quran. Ulama yang membolehkan juga berbeda pendapat tentang hadits kategori apa yang boleh menasakh al-Quran itu. Mereka mengemukakan contoh hadits: “Ahli waris tidak dapat menerima wasiat”.
Hadits tersebut me-nasakh ketentuan dalam ayat: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Menurut ulama yang menerima adanya nasakh hadits terhadap al-Quran, hadits di atas me-nasakh kewajiban berwasiat kepada ahli, yang dalam ayat di atas dinyatakan wajib. Dengan demikian, seorang yang akan meninggal dunia tidak wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli, karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Mustafa dan Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif.
Komentar
Posting Komentar